Sabtu, 25 Juni 2011

Ukuran Cinta sejati

Aku tidak ingin mencintaimu setinggi gunung. Sebab, jika gunung meletus, itu akan membuatku hancur berkeping-keping. Aku juga tidak mau mencintaimu seluas samudera. Sebab, samudera akan menenggelamkanku saat tsunami tiba.
Biarkanlah aku mencintaimu meski hanya seperti kuku. Meskipun patah atau terpotong, kuku tetap selalu tumbuh dan tumbuh selamanya. Itulah cinta sejatiku yang dapat kuberikan hanya untukmu, kekasihku.

Senin, 20 Juni 2011

Too beautiful

We must get it is true that there is no story that can perfect
Such as those which always at envision
And dream not always so fact

There beginning and there final
May be not can raveled all
There sorrow, there happy
May be not ever can forgotten

And my heart says

Good bye darling
Sweet be ended sadness
Story really too beautiful, now all end
Good bye darling
Although appear very hurt, but I am certain try to experience all these

Ayat-ayat tentang Masyarakat

Q.S. Al-baqarah(2):139.

              
139. Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, dan bagi kamu amalan kamu dan Hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati,

Tafsir mufrodat:
ا لمحا جة : Adalah mujadalah yaitu mengajak pada kebenaran terhadap setiap orang-orang yang bermusuhan disertai hujah (argumentasi) terhadap permasalahannya.
 : Pada agama Allah.

Makna umum:
Sesudah Allah swt menjelaskan pada ayat yang telah lalu, bahwa millah yang sholeh adalah milahnya Ibrahim as. Dan Ibrahim bukanlah golongan yahudi dan nasrani, bahkan milah Ibrahim merupakan agama Allah yang tidak masuk kesalahsatupun didalamnya, dan jauh dari istilah-istilah manusia dan hinaannya. Tetapi setelahnya, tumbuh hinaan pemimpin-pemimpin dan menuding/ berdusta terhadap apa yang dijalankan para nabi. Sehingga sunyilah/ sirna urusan-urusan mereka sampai Allah mengutus Nabi Muhammad saw dan mengajak manusia untuk kembali terhadap agama Allah, dan menunjukkan terhadap jalan yang hak yang merupakan kemaslahatan masyarakat dalam agama dan dunia. Syariat disana, membatalkan syubhat (kekeliruan) yang memalingkan jalan yang benar. Maka menyampaikan rosul pada hujjah yang menolak tuduhan dusta.

Diriwayatkan bahwa sebab turunnya ayat ini, yahudi dan nasrani berkata: “mesti manusia mengikutiku dalam agama karena sesungguhnya para nabi dan syariat (hukum) diturunkan kepadaku, dan tidak dijanjikan/ diturunkan terhadap arab, nabi, dan syariat”. Maka Allah menjawab dengan ayat diatas.

Penjelasan:
“Mengapa kamu mengaku sesungguhnya agama hak itu yahudi dan nasrani?”. Mereka berkata “tidak akan masuk surga kecuali orang yahudi dan nasrani”.
Dalam pengakuan lain, “jadilah kamu yahudi nasrani, dapatlah kalian petunjuk”.

Darimana datang kepadamu kedekatan ini (dengan Ibrahim), dengan Allah, selain kita. Allah Tuhan kita dan Tuhanmu, dan Tuhan seluruh alam. Maka Dia adalah pencipta dan kita semua adalah makhluk dan Allah mengunggulkan manusia hanya dengan amalnya, dan hasil amal kita akan kembali kepada kita baik atau buruk. Begitupun hasil amal kalian akan kembali kepada kalian sesuai arah ini (yang kamu yakini). Dan aku ikhlas tiada yang ku maksud kecuali ridoNya. Adapun kamu berkata terhadap pendahulumu itu orang-orang sholeh, dan kamu menyangka mereka akan memberi pertolongan dihadapan Tuhanmu sedangkan kamu menyalahi perjalanannya. Karena mereka tidak dekat kecuali dengan amal sholeh dan iman yang benar. Maka jadikanlah mereka manhajmu, maka kamu bahagia.

Kesimpulan:
Sesungguhnya ruh agama Tauhid adalah ikhlas, dengan Islam. Maka apabila hilang maksud ini, maka tidak akan mencukupi sedikitpun. Dan ahli kitab hancur ruh ini, dan memelihara taqlid. Maka mereka tidak sedikitpun dari agama. Sedangkan Nabi Muhammad saw datang dengan menghidupkan ruh itu, sebagaimana nabi dan rosul. Dan Nabi Muhammad yang menyempurnakan syariatnya, yang mendamaikan seluruh manusia disetiap jaman dan tempat. (Al-Maraghi Juz 1, 227-229.)


Q.S. Ar-Ra’du(13):11.

                             •         
11. Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Tafsir mufrodat:
: Malaikat-malaikat yang bergantian. Tunggalnya ma’qobatun, man’aqqobahu; yaitu yang datang sesudahnya dari sebelah depan dan belakang, dari perintah Allah dan pertolonganNya.
: Yang menolong.

Uraian:
: Bagaimana ada malaikat-malaikat yang silih berganti menjaganya. Menjaga diwaktu siang dan malam, dari madhorot dan mengikuti tingkahnya. Seperti malaikat yang lain untuk memelihara amal-amalnya dari yang baik dan yang buruk. Malaikat malam dan malaikat siang, yang mendampingi dari sebelah kiri dan kanan. Yang sebelah kanan mencatat kebaikan dan yang sebelah kiri mencatat keburukan. Dan dua malaikat yang lain yang menjaganya dari depan dan dari belakang. Maka dia berada diantara 4 malaikat siang dan 4 malaikat malam yang saling berganti sebagaimana terdapat dalam hadits shoheh:
“Saling bergantian disampingmu malaikat malam dan malaikat siang, mereka kumpul pada shalat subuh dan ashar. Maka malaikat tadi beranjak ketika kamu tidur, maka Allah bertanya kepada malaikat dan Allah Maha Tahu akan keadaanmu. “Bagaimana keadaan hambaku?” maka malaikat menjawab, “Kami datang kepadanya dalam keadaan hambamu shalat dan kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat”.”

Maka apabila manusia tahu bahwa ada malaikat yang mengawasi pasti dia akan selalu memelihara diri, takut berbuat maksiat, khawatir dicatat keburukannya oleh malaikat. Seperti halnya dia malu berbuat buruk diketahui manusia yang ia segani.

Dan urusan pemeliharaan malaikat ini tidak jauh dari akal, bila mantap dalam agama serta terbukanya ilmu, sesungguhnya banyak pekerjaan umum yang mungkin terhitung dengan alat-alat canggih, yang tidak dilewatkan dengannya. Sungguh telah terbukti air dan arus listrik dalam peradaban terhitung dengan alat. Air nampak limpahannya, arus listrik yang menerangi tempat-tempat manusia, terukur dan terhitung seperti menghitung dinar dan dirham (uang). Dan seperti terukurnya dengan alat, perjalanan jauh yang dirampungkan dengan kendaraan menempuhnya. Hingga hal-hal yang lain yang seluruhnya terukur/ terhitung, baik itu kecil maupun besar dari seluruh pekerjaan.

Setelah datang ilmu dan terbukanya apa yang belum ada, kita membenarkan, maka kenapa tidak membenarkan dalam pengetahuan agama, dan pelantara yang mendekatkan terhadap pengetahuan yang datang dalam urusan agama. Dari sebagian yang masih samar di golongan materialis, yang tidak mengakui kecuali yang nampak oleh mata, dan tidak mengakui kecuali yang terjadi dalam perasaannya. Untuk itu ada sebagian yang mengatakan:
“Agama dan akal dua saudara yang tidak bisa dipisahkan, dua teman yang tidak berbeda”.

: Maksudnya mereka (malaikat) menjaga manusia atas perintah Allah, izin, dan pemeliharaannya. Seperti Allah telah menjadikan anggota badan yang menjadi sebab punya rasa yang mengikat dengannya terhadap penyebabnya seukuran kepastian hikmahnya. Maka menjadikan Allah bulu mata untuk menjaga mata terhadap sesuatu yang masuk kedalamnya sehingga menyakitkan, demikian dengan anggota badan yang lainnya, maka malaikat menjadi sebab untuk memelihara manusia, tindakan Allah tidak lepas dari hikmah dan kemaslahatan.

Dan demikian Allah menjadikan, memelihara amal kita oleh malaikat walau kita tidak tahu apa pastinya? Dimana tempatnya? Dan apa hikmahnya? Bahkan Allah swt dengan ilmuNya, sangat tepat untuk memberikan pahala dan siksa terhadap manusia. Maka hikmahnya adalah: apabila manusia tahu, bahwa amalnya terpelihara pada malaikat, maka dia akan cepat mengakui, ketika mereka bertemu dengan Allah, baik mendapatkan pahala ataupun siksa pada hari berpaling dan perhitungan.

Para mufasir terdahulu masing-masing mengemukakan pendapatnya tentang malaikat penjaga manusia. Ibnu abbas berkata: “Mereka (malaikat penjaga manusia) diwaktu malam menuliskan perbuatan manusia, dan menjaganya, dari depan dan belakangnya. Dan demikian menjaga dengan perintah Allah dan izin-Nya, karena tidak ada kemampuan malaikat dan tidak bagi seorangpun dari makhluk untuk memelihara seseorang kecuali atas perintah Allah, dan kepastianNya dan izinNya, maka apabila datang kepastian Allah maka mereka berlalu.

Ali ra berkata: “Tidak ada seorangpun kecuali bersamanya, malaikat yang memelihara dari ketiban batu, terjerumus ke sumur, atau dimangsa hewan buas, tenggelam, atau terbakar, namun apabila datang kepastian Allah mereka menyingkir dari manusia dan diantara qodar”.

 : Maksudnya, sesunguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum dari nikmat, kewarasan, hilang dan lenyapnya. Sehingga mereka merubah hal tersebut dari kedholiman sebagian ke sebagian yang lainnya, permusuhan yang sebagian ke sebagian yang lain, dan tidak merubah perbuatan buruk yang terkutuk yang merusak tatanan ketentraman masyarakat, dan merusak umat seperti merusaknya hama dengan sendirinya.

Diriwayatkan, bahwa Abu Bakar berkata, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya manusia, apabila melihat kedholiman dan tidak menggerakkan tangannya, maka hampir dekat Allah melimpahkan siksa terhadapnya”.

Dan menunjukkan ke-shohehan hadits tersebut firman Allah:
“Taktlah/ hati-hatilah terhadap fitnah yang tidak diberikan kepada orang-orang yang dzolim secara khusus”.

Telah dipaparkan secara luas masalah ini terdahulu ditempat bahasan yang banyak, dan telah menunjukkan Imam Mauruh bin Kholdun pada pembukaan tarikh dan pertaliannya, dia menjadikan cirinya (pasal bahwa dzolim terjadi dengan hancurnya kemakmuran). Dan terurai didalamnya dengan manhaj yang diketahui darinya, dan dia mencontohkan dalam cerita yang panjang dari umat sebelum Islam dan sesudahnya, dan menjelaskan bahwa dzolim itu berubah atapnya, hina ahlinya, dan menyebabkan saling terkamnya sebagian ke sebagian yang lain.

Dalam perilaku umat Islam sekarang, telah terangkat dari akarnya, yang diambil hikmat oleh orang barat, dan memetiknya setelah memakmurkannya. Ini menjadi suatu pelajaran bagi yang berfikir dan sampainya pendengaran/ menyaksikan, dan Al-qur’an menjadi saksi benarnya pemikiran. Seperti firman Allah:
“Sesungguhnya Allah mewariskan bumi ini kepada orang-orang yang Dia kehendaki dari hambaNya”.

Dalam ayat lain:
“Sesungguhnya bumi diwariskan bagi hamba Allah yang sholeh”.

Yaitu sholeh, maslahat dalam memakmurkannya dan memanfaatkan kebaikannya, yang dzohir dan yang bathin (diatas bumi dan perut bumi).

 : Maksudnya, apabila Allah menghendaki suatu kaum seumpama sakit, fakir, dan seumpamanya dari jenis-jenis bala yang disebabkan ulah tangannya ketika dia melakukannya, maka tidak ada ampun seorangpun untuk menolaknya dari mereka. Tidak akan ada yang bisa mengembalikan kepastian Allah kepada mereka.

Dalam hal ini isyarat sesungguhnya tidak pantas tergesa-gesa mencari keburukan sebelum kebaikan, mencari siksa sebelum pahala, karena kapan saja Allah menghendaki sesuatu, maka terjadilah kepada mereka, dan tidak ada yang bisa menolaknya.

Kesimpulan:
Sesungguhnya tidak ada dari suatu hikmah dari suatu perkara terhadap permohonan mereka untuk segeranya hal tersebut.

: Maksudnya, tidak ada bagi mereka dari selain Allah swt yang memelihara urusannya, Allah yang memberikan manfaat dan menolak madhorot. Sedangkan Tuhan (berhala) yang mereka jadikan sendiri tidak mampu untuk melakukan hal tersebut. Dia tidak kuasa untuk menolak kemadhorotan atas dirinya sendiri dari yang lain. (Al-Maraghi Juz 5, 76-79).


Q.S. Al-Hujurot(49):11.

                                          
11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.


Tafsir mufrodat:
السخريه : Allhfiqor artinya menglunakan dan menceritakan cela dan kekurangan terhadap rupa yang ditertawakan, diucapkan. Sakhorobihi wa sakhoro minhu, wa dhokaro bihi wa minhu wahaja bihi wa minhu. Dan terkadang ada menghinakan itu dengan menirukan ucapan atau dengan tingkah laku, dengan isyarah, atau dengan tertawa.
: ditujukan kepada laki-laki bukan wanita.
: maksudnya jangan mencela sebagian kamu kesebagian yang lain dengan ucapan atau isyarah dengan tangan atau mata. Orang mu’min seperti satu jiwa, maka dimana seseorang mencela saudaranya berarti dia mencela diri sendiri.
: memanggil seseorang dengan gelar yang dibenci.
: sebutan dan nama baik dari ucapan mereka, maka menyebar namanya diantara manusia dengan mulia dan hina.

Makna umum:
Setelah menceritakan yang pantas bagi mu’min kepada Allah, Nabi, dan orang yang menyalahi Allah dan Rasulnya yaitu fasik. Maka Allah menjelaskan yang pantas bagi mu’min serta mu’min yang lain. Maka Allah menjelaskan bahwa tidak pantas bagi seorang mu’min menghina, mencela dengan mengolok-olokkan, dan merendahkan. Dan memanggil dengan gelar yang menyakitkan, maka inilah seburuk-buruknya amal. Dan barangsiapa yang bertaubat maka sungguh dia telah berbuat keburukan terhadap dirinya sendiri dan berbuat dosa besar.

Diriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan dalam riwayat delegasi Tamim, ketika mengolok-olokkan para sahabat yang fakir seperti: Nimar, Shuhaib, Bilal, Khubbab putera Duhairoh, Salman Al-farisi, dan Salim budak Abi Udaifah, ketika utusan itu melihat usang tampilannya.

Penjelasan:
       
Maksudnya: jangan menghina seorang manusia dari golongan mu’min terhadap yang lainnya, kemudian diceritakan alasannya.

    
Yaitu: terkadang yang dihina itu lebih baik daripada yang menghina disisi Allah, seperti terdapat dalam Atsar:
Maka mesti tidak melakukan seseorang menghina orang yang tidak menyenangkan mata karena usang tampilannya, atau keadaannya cacat, atau tidak baik bicaranya, maka boleh jadi dia lebih bersih jiwa adan hatinya, daripada orang yang sebaliknya. Maka dia (menghina) dzolim terhadap dirinya dengan menghina orang yang disayangi Allah.
         
Maksudnya jangan menghina wanita dari wanita boleh jadi yang dihina lebih baik daripada yang menghina. Kalimat نسا ء dengan jama’ sungguh secara umum dalam memalingkan itu ditengah-tengah manusia. Banyak yang bersenag-senang dan banyak yang tersakiti.

Diriwayatkan dari Abi Hurairah, beliau mengatakan, bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan melihat rupa dan hartanya, tetapi melihat hati dan amalnya”. Dalam hal ini isyarat sesungguhnya manusia, tidak akan putus karena pujian atau hinaan seseorang. Seperti melihat rupa atau perbuatan baik atau sebaliknya. Maka bisa jadi orang yang memelihara perbuatan dzohir, Allah mengetahui hati bersih dan terpuji diampuni sebabnya. Maka amal menunjukkan/ membawa praduga tidak pasti.

  
Maksudnya, dan janganlah sebagian dari kalian mengolok-olokan sebagian yang lain dengan ucapan atau isyarah dengan maksud merendahkan.
Dalam kalimat min anfusikum peringatan bahwa yang berakal tidak akan menghina dirinya sendiri, tidak pantas menghina yang lain karena seperti diri sendiri. Rasulullah bersabda:
“Orang mu’min seperti satu jasad apabila sakit, maka ikut sakit seluruh anggota badan”.
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:
“Seseorang mampu melihat sedikit kotoran dimata saudaranya, tapi kotoran dipelupuk mata sendiri tidak terlihat”.
Seorang ahli syair berkata:
“Jangan membuka keburukan orang yang tertutup, maka Allah akan merobek penutup kesalahanmu. Katakan kebaikan mereka, dan jangan mencela kepada seorang dari mereka”.

  
Maksudnya jangan memanggil sebagian dari kamu terhadap sebagian yang lain dengan gelar yang menyakitkan. Seperti berkata kepada seorang muslim; Hai Fasik; Hai Munafik; atau Hai Nasrani; Hai Yahudi.
Imam Qotadah dan ‘Ikrimah dari Abi Jabiroh bin Dhohak berkata, tentang Bani Salmah, turun ayat “Jangan memanggil dengan gelar....”. ketika Rasulullah tiba di Madinah tidak ada laki-laki kecuali dua nama/ tiga nama. Maka Rasul memanggil dengan nama itu, mereka berkata: “Ya Rasulallah itu tidak disenangi” maka turun ayat diatas. (Riwayat Imam Bukhori).
Adapun memanggil dengan pekerjaan, pujian dan itu benar adanya, maka tidak dilarang. Seperti:
Kepada Abu Bakar memanggil Atiq,
Kepada Umar memanggil Al-faruq,
Kepada Usman memanggil Dzunnurain,
Kepada Ali memanggil Abu Turob,
Kepada Kholid memanggil Saifullah.

    
Maksudnya sebaik-baik sebutan yang disebarkan bagi mu’min adalah mengatakan fasik setelah iman.

     
Maksudnya barang siapa yang tidak bertaubat dari menghina atau mengolok-olokan saudaranya yang telah di larang oleh Allah, maka mereka adalah orang dzolim, maka Allah akan menyiksa karena maksiatnya.



Q.S. Al-Hujurot(49):12.

                            •   •    
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Tafsir mufrodat:
: Jauhlah
والا ثم : Dosa ا لتجسس membahas aurat dan cela, membuka dari sesuatu yang tertutup dari manusia.
الغيبه : Menceritakan manusia dengan sesuatu yang dibenci dalam gibahnya. Telah meriwayatkan Imam Muslim, Abu Daud, dan Turmudzi sesungguhnya Nabi bersabda: “Apakan gibah itu?” Sahabat menjawab: “Allah dan RasulNya paling tahu”. Rasul menjawab: “kamu mengatakan sesuatu tentang saudaramu yang dibencinya”.

Makna umum:
Allah mendidik hambanya yang mu’min dengan adab (kesopanan), jika mereka berpegang teguh maka akan tetap rasa cinta dan persatuan. Dari sebagian yang di uraikan disini dari urusan aturan yang menambah kekuatan:
1. Jauh dari buruk sangka
2. Tidak ada kata-kata yang tidak menyenangkan
3. Membahas cela orang.

Uraian:
Hai orang-orang yang beriman jauhilah dari banyak buruk sangka terhadap orang mu’min.
Dalam hadits: dan tidak haram buruk sangka kecuali dari orang yang menyaksikan darinya tertutup dan damai, dan jelas darinya amanah. Adapun orang yang terang-terangan terhadap durhaka seperti orang masuk ke perzinahan atau mempunyai gundik-gundik penzinah, maka tidak haram buruk sangka padanya.

Sungguh buruk sangka seorang mu’min kepada mu’min itu dosa, karna Allah telah melarangnya, kemudian setelah Allah menyuruh untuk tidak berburuk sangka maka Allah melarang tapassus. Jangan mengkuliti aib orang lain, dan jangan membahas rahasianya dengan maksud tampak celanya, namun perbanyak sesuatu yang nampak bagimu dari urusannya. Dan dengannya kamu memuji atau mencela tidak terhadap yang kamu ketahui masih dalam kesamaran.
Imam hassan berkata: gibah terbagi tiga:
1. Gibah yaitu kamu mengatakan tentang saudara mu dan memang demikian.
2. Ipka yaitu kamu mengatakan sesuatu yang sampai kepadamu.
3. Buhtan yaitu kamu mengatakan, sedang orang tersebut tidak demikian.
Orang yang melakukan gibah di ibarat kan makan daging bangkai. Maka bencilah kamu terhadap gibah ketika hidup, maka takutlah kepada Allah dan bertaubatlah, karena Allah yang maha menerima taubat dan maha penyayang.


Q.S. Al-hujurot(49):13.

 ••           •      •    
13. Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Tafsir mufrodat:
: Maksudnya dari Adam dan Hawa
: Yaitu kumpulan kehidupan yang besar, yang berdasarkan kepada asal yang satu (bangsa).
: Suku bangsa, ibarat ranting-ranting dari satu batang.

Makna umum:
Setelah Allah swt melarang untuk menghina, mencela, meremehkan, dan memanggil dengan gelar yang tidak disukai, maka dalam ayat ini Allah menguatkan larangannya karena sesungguhnya manusia berasal dari satu bapak dan satu ibu, yaitu Adam dan Hawa.

Uraian:
Allah menegaskan “Sesungguhnya Aku jadikan kalian dari Adam dan Hawa, maka kenapa kamu saling menghina, mencela, dan merendahkan. Aku jadikan kalian bersuku bangsa supaya saling mengenal, sedangkan menghina dan mencela mengosongkan dari saling mengenal. Ketahuilah bahwa diantara kamu yang tinggi derajatnya disisi Allah, dunia dan akhirat adalah orang yang takwa. Siapa yang ingin mendapatkan ketinggian maka dia mesti bertakwa. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu lakukan, maka teliti dari hal-hal yang tersembunyi dari perilakumu, jadikan takwa. Allah akan menambah disisiNya tempat kembalimu (akhirat). (Al-Maraghi, Juz 9: 132-144)

Referensi
Judul Kitab : Tafsir Al-Maraghi
Penulis : Ahmad Mustofa Al-Maraghi
Awal Penerbitan : Awal Muharam 1365 H.