Sabtu, 27 November 2010

PERKEMBANGAN INTELEGENSI DAN SEKSUALITAS ANAK

INTELEGEBSI
A. Definisi Intelegensi

Kecerdasan (dalam bahasa Inggris intellegance dan bahasa Arab disebut Al-Dzaka) menurut arti bahasa adalah pemahaman, kecepatan, dan kesempurnaan sesuatu. Dalam arti, kemampuan (al-Qudrah) dalam memahami sesuatu secara cepat dan sempurna. Begitu cepat penangkapannya itu sehingga Ibnu Sina, seorang Psikolog Falsafi menyebut kecerdasan sebagai kekuatan intuitif (al-Bads), sedangkan menurut istilah, intelegensi diartikan oleh beberapa ahli sebagai berikut:

1. Crow and Crow
“Intelegensi adalah kapasitas umum dari seorang individu yang dapat dilihat pada kesanggupan pikirannya dalam mengatasi tuntutan kebutuhan-kebutuhan baru, keadaan rohaniah secara umum yang dapat disesuaikan dengan problem-problem dan kondisi-kondisi yang baru di dalam kehidupan. Pengertian ini tidak hanya menyangkut dunia akademik, tetapi lebih luas, menyangkut kehidupan non-akademik, seperti masalah-masalah artistik dan tingkah laku sosial.

2. J.P. Chaplin,
yang merumuskan pengertian kecerdasan dalam tiga definisi, yaitu:
a. kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif;
b. kemampuan menggunakan konsep abstrak secara efektif, yang meliputi empat unsur, seperti memahami, berpendapat, mengontrol, mengkritik; dan
c. kemampuan memahami pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat sekali.
Pada mulanya, kecerdasan hanya berkaitan dengan kemampuan struktur akal (intellect) dalam menangkap gejala sesuatu sehingga kecerdasan hanya bersentuhan dengan aspek-aspek kognitif (al-majal al-ma’rifi). Namun pada perkembangan berikutnya, disadari bahwa kehidupan manusia bukan semata-mata memenuhi struktur akal, melainkan terdapat stuktur kalbu yang perlu mendapat tempat tersendiri untuk menumbuhkan aspek-aspek afektif (al-majal al-infi’ali), seperti kehidupan emosional, moral, spiritual, dan agama. Karena itu, jenis-jenis kecerdasan pada diri seseorang sangat beragam seiring dengan kemampuan atau potensi yang ada pada dirinya.

B. Jenis-Jenis Intelegensi (Kecerdasan)

1. Kecerdasan Intelektual (IQ)
Kecerdasan Intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan proses kognitif seperti berfikir, daya menghubungkan, dan nilai atau mempertimbangkan sesuatu. Atau, kecerdasan yang berhubungan dengan strategi pemecahan masalah dengan menggunakan logika. Menurut Thurstone, dengan teori multi faktornya, menentukan 30 faktor yang menentukan kecerdasan intelektual, tujuh di antaranya yang dianggap paling utama untuk ebilitas-ebilitan mental, yaitu:
a. mudah dalam mempergunakan bilangan;
b. baik ingatan;
c. mudah menangkap hubungan-hubungan percakapan;
d. tajam penglihatan;
e. mudah menarik kesimpulan dari data yang ada;
f. cepat mengamati; dan
g. cakap dalam memecahkan berbagai problem. Kecerdasan ini disebut juga kecerdasan rasional (rational intelegence) sebab ia menggunakan potensi rasio dalam memecahkan masalah.

Kecerdasan intelektual ini dari segi kuantitas tidak bisa dikembangkan karena ia merupakan pembawaan sejak lahir, namun kualitasnya dapat dikembangkan. Menurut Kohnstam, kualitas kecerdasan intelektual dapat dikembangkan dengan beberapa syarat, yaitu:
a. bahwa pengembangan tersebut hanya sampai batas kemampuan, dan tidak dapat melebihinya. Setiap orang mempunyai batas kemampuan yang berbeda; dan
b. bahwa pengembangan tersebut tergantung kepada cara berfikir yang metodis.

Tinggi rendahnya kecerdasan intelektual seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a. pembawaan, yaitu kesanggupan yang dibawa semenjak lahir dan setiap orang tidak ada yang sama;
b. kematangan, yaitu saat munculnya daya intelek yang siap untuk dikembangkan mencapai puncaknya (masa peka);
c. lingkungan, yaitu faktor luar yang mempengaruhi intelegensi pada masa perkembangannya; dan
d. minat, yaitu motor penggerak dalam perkembangan intelegensi.

Melalui tes IQ (Intelegensi Quotient) tingkat kecerdasan intelektual seseorang dapat dibandingkan dengan orang lain. Dengan kehadiran konsep baru tentang kecerdasan, maka IQ tidak lagi bermakna Intelegence Quotient melainkan Intelektual Quotient (IQ). Perubahan ini sebagai bandingan dengan istilah EQ (Emotional Quotient), MQ (Moral Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient).

Kuisen intelegensi dapat diperoleh melalui pembagian usia mental (mental age) dengan usia kronologis (cronological age ) dengan usia kronologis (cronological age) lalu diperkalikan dengan angka 100, rumusnya sebagai berikut:



Hasil perhitungan berdasarkan rumus tersebut, oleh Woodwort dan Marquis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

No Intelegence quotient (IQ) Tafsiran
1 140-…. Berbakat
2 120-140 Sangat superior
3 110-120 Superior
4 90-110 Normal; rata-rata
5 70-90 Normal yang tumpul
6 50-70 Moron
7 20-50 Imbesil
8 0-20 Idiot

2. Kecerdasan Emosional (EQ)

a. Pengertian kecerdasan emosional
Kecerdasan emosional merupakan sebuah istilah baru yang pertama kali ditemukan oleh Salovey, psikolog dari Universitas Yale dan Mayer dari Universitas New Hampeshire pada tahun 1990. Namun istilah tersebut menjadi popular di tengah-tengah masyarakat setelah Goleman menulis buku yang berjudul Emotional Intelegence. Salovey dan Mayer menggunakan istilah kecerdasan emosi untuk menggambarkan sejumlah kemampuan mengenali emosi diri sendiri, mengelola dan mengekspresikan emosi diri sendiri dengan tepat, memotivasi diri sendiri, mengenali orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain.

Ciri utama pikiran emosional adalah respons yang cepat, tetapi ceroboh, mendahulukan perasaan daripada pemikiran, realitas simbolik yang seperti kanak-kanak, masa lampau diposisikan sebagai masa sekarang, dan realitas yang ditentukan oleh keadaan. Kecerdasan emosional merupakan hasil kerja dari otak kanan, sedangkan kecerdasan intelektual merupakan hasil kerja dari otak kiri. Menurut De Porter dan Hernacke, otak kanan manusia memiliki cara kerja yang acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik, sedangkan otak kiri memiliki cara kerja yang logis, sekuensial, rasional, dan linear. Kedua belahan otak ini harus diperankan sesuai dengan fungsinya. Jika tidak, maka masing-masing otak akan mengganggu pada otak lain. Fungsi dan peranan kedua otak tersebut adalah sebagai berikut:
Otak kiri
(Left Hemisphere) Otak kanan
(Right Hemisphere)
Matematika, sejarah, bahasa Persepsi, intuisi, imajinasi
Konvergen (runtut), sistematis Divergen
Analitis Perasaan
Perbandingan Terpadu, holistic
Hubungan Perasaan
Linear Non linear
Logis Mistik, spiritual
Scientific Kreatif
Fragment Rasa, seni

Kecerdasan emosional diakui sebagai suatu kemampuan yang pengaruhnya terhadap individu serta Intelegence Quotient (IQ), dalam pengertian bahwa setiap orang tidak hanya dituntut untuk mengandalikan kecerdasan intelegensi saja, namun juga sebenarnya dia harus mempergunakan kecerdasan emosional dalam menghadapi problem kehidupan yang dijalani. Faktanya tidak sedikit individu yang memiliki Intelegence Quotient (IQ) tinggi mengalami kegagalan dalam upaya mengentaskan problema kehidupan, hanya karena tidak memiliki emosional (EQ) yang mantap.

Ari Ginanjar Agustian mengemukakan bahwa banyak orang yang memiliki kecerdasan otak saja, atau banyak memiliki gelar yang tinggi belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Bahkan seringkali orang yang berpendidikan formal lebih rendah ternyata banyak yang lebih berhasil karena EQ tinggi. Kebanyakan program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal (IQ), padahal disamping kecerdasan intelektual diperlukan kecerdasan emosi yang lebih menentukan.

Ari Ginanjar juga mengemukakan bahwa tingkat Intelegence Quotient (IQ) seseorang umumnya tetap, sedangkan Emotional Quotient (EQ) dapat terus ditingkatkan. Dalam peningkatan inilah kecerdasan emosional sangat berbeda dengan kecerdasan intelektul, yang umumnya hampir tidak berubah selama kita hidup, sementara kecerdasan emosional dengan motivasi dan usaha yang benar dapat dipelajarai dan dikuasai.

Kecerdasan emosi mencakup kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik (academic intelegence), yaitu kemampuan kognitif murni yang dilakukan dengan IQ. Dalam kenyataannya banyak orang yang cerdas dalam artian terpelajar, namun tidak mempunyai kecerdasan emosi, bekerja menjadi bawahan orang yang ber-IQ lebih rendah, tetapi unggul dalam keterampilan EQ.

Mahmud Al-zaki mengemukakan bahwa kecerdasan emosional pada dasarnya mempunyai hubungan yang erat dengan kecerdasan uluhiyah (ke-Tuhan-an). Jika seseorang tingkat pemahaman dan pengalaman nilai-nilai ke-Tuhan-an yang tinggi dalam hidupnya, maka berarti dia telah memiliki kecerdasan emosional yang tinggi pula. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Abdul Rahman Al-Aisu, yang mengatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara kecerdasan emosional dengan kecerdasan ke-Tuhan-an.

b. Aspek-aspek kecerdasan emosional
Ari Ginanjar mengemukakan aspek-aspek yang berhubungan dengan kecerdasan emosional dan spiritual, yaitu:
1) konsistensi (istqomah);
2) kerendahan hati (tawadhu’);
3) berusaha dan berserah diri (tawakkal);
4) ketulusan (ikhlas), totalitas (kaffah);
5) keseimbangan (tawazun); dan
6) integritas dan penyempurnaan (ihsan).

Sedangkan Jalaludin Rahmat mengemukakan bahwa untuk memperoleh kecerdasan emosional yang tinggi, harus dilakukan hal-hal berikut ini:
1) musyarathah, yaitu berjanji pada diri sendiri untuk membisaakan perbuatan baik dan membuang perbuatan buruk;
2) muraqabah, yaitu memonitor reaksi dan perilaku sehari-hari;
3) muhasabah (introspeksi diri), yaitu melakukan perhitungan baik dan buruk yang pernah dilakukan; dan
4) mu’atabah dan mu’aqabah, yaitu mengecam keburukan yang dikerjakan dan menghukum diri sendiri (sebagai hakim sekaligus terdakwa)

Goleman menyatakan bahwa kecerdasan emosional pada dasarnya memiliki lima aspek kemampuan, yaitu:
1) kemampuan mengenali emosi diri;
2) kemampuan menguasai emosi diri;
3) kemampuan memotivasi diri;
4) kemampuan mengenali emosi orang lain; dan
5) kemampuan mengembangkan hubungan dengan orang lain.

3. Kecerdasan Moral (MQ)
Kecerdasan moral adalah kemampuan untuk merenungkan mana yang benar dan mana yang salah, dengan menggunakan sumber emosional dan intelektual pikiran manusia. Indikator kecerdasan moral adalah bagaimana seseoarang memiliki pengetahuan tentang moral yang benar dan yang buruk, kemudian ia mampu menginternalisasikan moral yang benar ke dalam kehidupan nyata dan menghindarkan diri dari moral yang buruk. Orang yang baik adalah orang yang memiliki kecerdasan moral sedangkan orang jahat merupakan orang yang idiot moral. Kecerdasan moral tidak bisa dicapai dengan menghafal atau mengingat aturan yang dipelajari, melainkan membutuhkan interaksi dengan lingkungan luar.

Menurut Abdul Mujib sebagaimana dikutip oleh Ramayulis (2001 : 92), kecerdasan moral tidak bisa dicapai dengan menghafal atau mengingat kaidah atau aturan yang dipelajari di dalam kelas melainkan membutuhkan interaksi dengan lingkungan luar. Ketika seorang anak berinteraksi dengan lingkungan, maka dapat diperhatikan bagaimana sikap yang diperankan, penuh belas kasih, adanya atensi, tidak sombong atau angkuh, egois atau mementingkan diri sendiri dan sejumlah sikap lainnya.

4. Kecerdasan Spiritual (SQ)
Adalah Donah Zohar dan Ian Marshall dua nama yang selalu disebut ketika dihadirkan konsep kecerdasan spiritual. Dalam karyanya SQ: Spiritual Intelligence the Ultimate Intelligence, yang diterbitkan awal tahun 2000, Zohar dan Marshall mendakwakan kecerdasan spiritual sebagai puncak kecerdasan, setelah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan moral. Meskipun terdapat benang merah antara kecerdasan spiritual dengan kecerdasan moral, namun muatan kecerdasan spiritual lebih dalam, lebih luas, dan lebih transenden daripada kecerdasan moral.

Kecerdasan spiritual bukanlah doktrin agama yang mengajak umat manusia untuk cerdas dalam memilih atau memeluk salah satu agama yang dianggap benar. Kecerdasan spiritual lebih merupakan sebuah konsep yang berhubungan bagaimana seseorang cerdas dalam mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai, dan kualitas-kualitas kehidupan spititualnya. Kehidupan spiritual di sini meliputi hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) yang memotivasi kehidupan manusia untuk senantiasa mencari makna hidup (the meaning of life) dan mendambakan hidup bermakna (the meaningful life).

Kecerdasan spiritual sebagai bagian dari psikologi memandang bahwa seseorang yang taat beragama belum tentu memiliki kecerdasan spiritual. Acapkali mereka memiliki sikap fanatisme, ekslusivisme, dan intoleransi terhadap pemeluk agama lain sehingga mengakibatkan permusuhan dan peperangan. Namun sebaliknya, bisa jadi seseorang yang humanis-non-agamis memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi sehingga sikap hidupnya inklusif, setuju dalam perbedaan (agree in disagreement), dan penuh toleran. Hal itu menunjukkan bahwa makna spirituality (keruhanian) di sini tidak selalu berarti agama atau ber-Tuhan.



SEKSUALITAS ANAK

A. Pengaruh pada perilaku seksual anak
1. Orang tua
Apa yang orang tua pikirkan mengenai seksualitas anak memberi pengaruh yang kuat bagaimana orang tua merespon prilaku seksual anak. Apa yang orang tua atau leluhur Anda(orang tua anak) katakan, lakukan, keyakinan agama yang dianut, latar belakang kebudayaan dan perasaan orang tua, semuanya akan memberi warna tentang bagaimana orang tua menyikapi perkembangan seksualitas puta putri mereka. Orang tua dapat menolong anak mereka untuk merasa nyaman, sehat dan normal, atau sebaliknya, yaitu merasa malu, bersalah dan buruk, semuanya tergantung bagaimana orang tua merespons putra-putri mereka.

2. Televisi, radio dan majalah
Anak dipengaruhi oleh apa yang mereka lihat, dengar dan baca. Mereka mungkin melihat atau mengetahui seks melalui berbagai cara termasuk melalui media televisi, video, koran, papan iklan dan majalah. Mereka belajar dari apa yang mereka baca dan lihat itu mengenai apa artinya menjadi seorang laki-laki atau seorang perempuan, dan bagaimana seorang laki-laki atau seorang perempuan berperilaku. Kadang mereka melihat gambar kekerasan seksual atau gambar aktivitas seksual yang mana mereka belum cukup dewasa untuk mengerti artinya dan hal ini membuat mereka cemas.

3. Bagaimana orangtua memperlakukan orang lain
Anak belajar dari orang tuanya dan guru pertama mereka. Mereka melihat bagaimana orang tua memperlakukan orang lain, bagaimana orang tua memberi perhatian, menghargai orang lain atau sebaliknya. Beberapa anak mempunyai pengalaman melihat orang tuanya menertawakan atau mempermalukan orang lain karena perbedaan jenis kelaminnya. Hal ini memberi pengaruh buruk bagi anak karena dia mungkin merasa tidak nyaman dengan status seksualnya sebagai laki-laki atau perempuan, dan mengajarkan mereka untuk takut atau tidak menghargai orang yang berjenis kelamin berbeda dengannya.

4. Sekolah
Sebaiknya sekolah dan tempat-tempat terapi anak tidak hanya mengajarkan mereka anggota tubuh, nama dan kegunaannya tapi juga mengajarkan anak bagaimana menyikapi prilaku orang lain terhadap anggota tubuh mereka (termasuk organ seksual) yang tidak aman dan tidak senonoh bagi mereka, serta cara mengatasinya.

B. Perkembangan seksual anak
Anak memiliki perasaan seksual sejak lahir. Bayi laki-laki mengalami ereksi dan baik bayi laki maupun perempuan sama-sama memiliki perasaan senang jika ada sentuhan pada organ genitalia mereka.
1. Usia prasekolah
Bayi biasanya belum bisa mengeksplor organ genitalnya sampai usianya 1 tahunan karena organ ini memang lebih sulit terlihat dibandingkan dengan anggota tubuh lainnya sepaerti tangan dan kaki. Bayi sering menyentuh organ genitalnya karena mereka menimbulkan rasa enak atau menimbulkan ras nyaman jika mereka sedang cemas dan marah.
Bayi 1 tahun sudah mulai memainkan genitalnya saat diganti celananya dan kadang mereka jega memainkan ee nya saat dibersihkan. Hal ini wajar saja sebagai bagian dari rasa keingintahuan mereka.
Anak dibawah usia 3 tahun belum mengerti bahwa seluruh bagian tubuhnya merupakan satu kesatuan dari badannya dan merupakan sesuatu yang permanen. Oleh karena itu anak laki kadang cemas penisnya hilang atau tidak ada saat mereka melihat anak perempuantidak memiliki genitalia yang sama, atau sebaliknya.
Anak usia prasekolah sering belum ”aware” terhadap tubuhnya dan masih belum terlalu mengerti ”malu” dalam keadaan telanjang. Anak usia prasekolah tertarik untuk melihat tubuhnya sendiri dan tubuh teman-temannya. Mereka sering bermain dokter-perawat sehingga mereka bisa saling melihat dan menyentuh satu sama lain. Mereka sering tertarik pada bagian-bagian tubuh orang tuanya dan ingin menyentuhnya jika mereka kebetulan melihatnya di kamar atau di kamar mandi.

2. Di tahun-tahun pertama sekolah dasar
Di umur ini anak masih bermain peran yang melibatkan perbedaan jenis kelamin karena rasa keingintahuannya. Anak mulai mendengar dan memperhatikan kata-kata yang berbau seks, kadang mereka menggunakan istilah-istilah tertentu yang mereka dapatkan dari teman-temannya. Anak mulai memilih teman sejenis sebagai teman dekatnya. Anak sudah malu jika tidak berpakaiandi depan orang lain dan juga di depan orang tuanya. Mereka mulai mengangkat topik seks dalam obrolan atau gurauan dengan teman-temannya.

Tidak ada komentar: